Kamis, 26 November 2015

sejarah adanya lembaga legislatif di Indonesia





TUGAS PKN
KEKUASAAN LEGISLATIF di INDONESIA
 
 







                          















 














KELOMPOK                 :           5
Nama Anggota           :           SRI ARUM E.S                         (06)
                                                TATIK OKTAVIANI
                                                TUTIK UTARI
                                                YUNITA KARINA
                                                YUWANITA KARTIKA N.         (36)
Kelas                           :           XII AKUNTANSI 4


               
MATERI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
 
                                               





















 















ISI MATERI      :           1.         PEMILU di INDONESIA
      2.         PERIODISASI / KONSTITUSI di INDONESIA
                                                3.         AMANDEMEN
4.         KEKUASAAN di INDONESIA
                                                5.         PERKEMBANGAN KEKUASAAN WILAYAH NKRI
              
  KELAS              :           XII AKUNTANSI 4


Sejarah Lembaga Legislatif di Indonesia
A. Volksraad (1918-1942)

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).

Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.

Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.

Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.

A.1. Pengisian Jabatan dan Komposisi

Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.

Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:

a. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)

b. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).

c. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.

Tahun 1927:

Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)

Anggota: 55 orang

(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25 orang)

Tahun 1930:

Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)

Anggota: 60 orang

(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30 orang)

Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.

A.2. Tugas Volksraad

Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.

Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.

Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli.

Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:

· 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)

· 5 orang mewakili P.P.B.B.

· 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)

· 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)

· 3 orang mewakili Parindra

· 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)

· 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)

· 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)

· 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia

· 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)

Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.

B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)


Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.

Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.

C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)


Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

C.1. DPR-RIS

Jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian dengan perincian sebagai berikut:

a. Republik Indonesia 49 orang

b. Indonesia Timur 17 orang

c. Jawa Timur 15 orang

d. Madura 5 orang

e. Pasundan 21 orang

f. Sumatera Utara 4 orang

g. Sumatera Selatan 4 orang

h. Jawa Tengah 12 orang

i. Bangka 2 orang

j. Belitung 2 orang

k. Riau 2 orang

l. Kalimantan Barat 4 orang

m. Dayak Besar 2 orang

n. Banjar 3 orang

o. Kalimantan Tenggara 2 orang

p. Kalimantan Timur 2 orang

DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.

Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik. Dalam masa kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil mengesahkan tujuh undang-undang.

C.2. Senat-RIS

Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS.

D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)

Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:

1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;

2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

D.1. Keanggotaan DPRS

Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.

Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954):

1. Masjumi 43 orang

2. PNI 42 orang

3. PIR-Hazairin 19 orang 22 orang

4. PIR-Wongso 3 orang

5. PKI 17 orang

6. PSI 15 orang

7. PRN 13 orang

8. Persatuan Progresif 10 orang

9. Demokrat 9 orang

10. Partai Katolik 9 orang

11. NU 8 orang

12. Parindra 7 orang

13. Partai Buruh 6 orang

14. Parkindo 5 orang

15. Partai Murba 4 orang

16. PSII 4 orang

17. SKI 4 orang

18. SOBSI 2 orang

19. BTI 1 orang

20. GPI 1 orang

21. Perti 1 orang

22. Tidak berpartai 11 orang

D.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRS


a. Kedudukan dan Tugas DPRS

DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.

b. Hak-hak dan Kewajiban DPRS

(i) Hak Amandemen

DPR berhak mengadakan perubahan-perubahan usul UU yang dimajukan pemerintah kepadanya.

(ii) Hak Menanya dan Hak Interpelasi

DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari menteri-menteri, yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI.

(iii) Hak Angket

DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU.

(iv) Hak Kekebalan (imunitet)

Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang dikemukakan dalam rapat atau surat kepada majelis, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.

(v) Forum Privelegiatum

Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan UU.

(vi) Hak mengeluarkan suara.

D.3. Hubungan DPRS dengan pemerintah

Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi.

D.4. Hasil-hasil pekerjaan DPRS

a. menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU

b. 11 kali pembicaraan tentang keterangan pemerintah

c. 82 buah mosi/resolusi.

d. 24 usul interpelasi.

e. 2 hak budget.

E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)

DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS.

Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.

F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)

Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.

Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR).

DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.

G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)


Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu:

a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966.

b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.

c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966.

d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966.

Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.

H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru

Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk dua panitia:

1. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.

2. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.

I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”

Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:

1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.

2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.

3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.

J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997

Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.

Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.

Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.

K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)

DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.

Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.

Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.

Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.

Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat). Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara, perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode 1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).

L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)

Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.

Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.

  Pembagian Kekuasan Di Indonesia
Orang pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara tersebut adalah John Locke, yang didalam bukunya “ Two Treatises on Civil Government” memisahkan kekuasaan negara dalam tiga bidang yaitu:
a.       Kekuasaan dalam bidang pembuatan Undang-Undang ( Legislatif)
b.      Kekuasaan dalam melaksanakan/menjalankan Undang-undang (Eksekutif)
c.       Kekuasaan dalam bidang hubungan luar negri, perjanjian atau perserikatan dengan orang-orang, lembaga atau negara-negara lain (Federatif)
Beberapa waktu kemudian Montesquieu, yang mengemukakan teori pembagian kekuasaan negara kedalam 3 bidang yang terpisah satu sama lain, yaitu :
a.       Legislatif (Perundang-undangan), yaitu kekuasaan dalam pembuatan Undang-Undang dalam arti formal;
b.      Eksekutif (Pelaksanaan), ialah kekuasaan yang berwenang melaksanakan segala tindakan yang telah diperintahkan oleh Undang-Undang dan yang diperlukan guna terselenggaranya tujuan-tujuan/ maksud-maksud yang tersirat dalam undang-undang itu;
c.       Yudikatif (peradilan), yaitu kekuasaan yang berwenang menjaga agar Undang-Undang itu dapat dijalankan sebagaiman mestinya, dengan memberikan reaksi dengan cara menimbang dan mengadili terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan atau menyimpang dari undang-undang dan menghalangi tercapainya tujuan-tujuan dan maksud-maksud dari perundangan-undangan tersebut.

Badan Legislatif
Badan legislatif mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur berkumpul. Nama lain adalah parliament, suatu istilah yang menekankan unsur bicara dan merundingkan. Sebutan lain mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan Dewan perwakilan rakyat. Akan tetapi apapun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.
Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat; rakyat yang berdaulat mempunyai kehendak. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentic dari general will itu. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakn maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat[6]. Pendapat Rousseau, tentang volonte Generale atau General Will yang menyatakan bahwa “rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan”. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini dengan jalan mengikat seluruh masyarakat. Undang-Undang yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum[7].
Tidak dari semula badan legislatif mempunyai wewenang untuk menetukan kebijakan umum dan membuat undang-undang. Parlemen Inggris yang merupakan badan legislatif tertua di dunia, mula-mula hanya bertugas mengumpulkan dana untuk memungkinkan raja membiayai kegiatan pemerintahan serta peperangan. Akan tetapi lambat laun setiap penyerahan dana oleh golongan elite disertai tuntutan agar pihak raja menyerahkan pula beberapa hak sebagai imbalan. Dengan demikian secara berangsur-angsur parlemen berhasil bertindak sebagai badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya didalam undang-undang. Badan eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan umum itu. Rousseau yang merupakan pelopor dari gagasan kedaulatan rakyat tidak menyetujui adanya badan perwakilan, tetapi mencita-citakan suatu bentuk demokrasi langsung, dimana rakyat secara langsung merundingkan serta memusatkan soal-soal negara dan politik. Akan tetapi dewasa ini demokrasi langsung seperti yang diinginkan oleh Rousseau dianggap tidak praktis, dan hanya dipertahankan dalam bentuk khusus dan terbatas seperti referendum, plebisit dan sebagainya. Boleh dikatakan bahwa dalam negara modern dewasa ini demokrasi langsung seperti yang diinginkan oleh Rousseau dianggap tidak praktis, dan hanya dipertahankan dalam bentuk khusus dan terbatas seperti referendum, plebisit, dan sebagainya. Boleh dikatakan bahwa dalam negara modern dewasa ini rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikinya melalui wakil-wakil yang dipilih secara berkala.
Dewan perwakilan Rakyat di negara demokratis disusun sedemikian rupa sehingga ia mewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya. Untuk meminjam perumusan C.F Strong : “ Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. Dengan perkataan lain negara yang demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat.
Badan Legislatif mempunyai fungsi yang paling penting adalah:
1.      Menentukan kebijakan (policy) dan membuat undang-undang. Untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah terutama dibidang budget atau anggaran.
2.      Mengontrol badan Eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus.

Disamping itu terdapat banyak badan legislatif yang menyelenggarakan beberapa fungsi lain seperti mengesahkan (ratify) perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif. Adapun fungsi dari badan Legislatif adalah [8]:
1.      Fungsi Legislasi
Menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak dibidang perundang-undangan, sekalipun ia tidak mempunyai monopoli di bidang itu. Untuk membahas rancangan undang-undang sering dibentuk panitia-panitia yang berwenang untuk memanggil materi atau pejabat lainnya untuk dimintai keterangan seperlunya. Akan tetapi gejala dewasa ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat dibidang legislatif telah banyak bergeser ke badan eksekutif. Mayoritas Undang-undang dirumuskan dan dipersiapkan oleh badan eksekutif, sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamandemennya. Sebagai rumus umum dapat dikatakan bahwa dikebanyakan negara yang dipantau persentase jumlah rancangan undang-undang yang diterima baik oleh badan legislatif dibanding dengan jumlah rancangan undang-undang yang berasal dari badan eksekutif, sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamandemennya. Sebagai rumus dapat dikatakan bahwa di kebanyakan negara yang dipantau enactment rate (persentase jumlah rancangan undang-undang yang diterima baik badan legislatif dibanding dengan jumlah rancangan undang-undang yang berasal dari badan eksekutif adalah 90%.
Keadaan ini tidak mengherankan sebab dalam negara moden badan eksekutif didukung oleh staff ahli dan sarana-sarana lainnya dimasing-masing kementrian, yang memang merupakan syarat mutlak untuk merumuskan rancangan undang-undang. Sebaliknya keahlian anggota-anggota badan legislatif lebih terbatas, sekalipun di beberapa negara legislatif dibantu oleh staf administrasi dan ahli research yang berkualitas tinggi. Akan tetapi pada umumnya di bidang keuangan, pengaruh badan legislatif lebih besar dari pada di bidang legislasi umum. Rancangan anggaran belanja diajukan ke badan legislatif oleh badan eksekutif, akan tetapi badan ini menentukan seberapa anggaran pemerintah dapat disetujuai. Jadi, badan legislatiflah yang pada akhirnya menentukan seberapa anggaran pemerintah dapat disetujui. Jadi badan legislatif oleh badan eksekutif, akan tetapi badan ini menentukan seberapa anggran pemerintah dapat disetujui. Jadi badan legislatiflah yang pada akhirnya menentukan beberapa dan dengan cara bagaimana uang rakyat dipergunakan.
Dinegara yang badan eksekutifnya dominan, badan legislatif biasanya tidak akan terlalu banyak mengubah rancangan anggaran belanja. Akan tatapi di negara yang badan legislatifnya kuat, badan itu dapat saja mengadakan banyak perubahan, termasuk mengurangi anggaran yang akan dipergunakan
2.      Fungsi Kontrol
Dengan semakin berkurangnya pengaruh badan legislatif di bidang legislatif maka peranannya di bidang pengawasan dan kontrol bertambah menonjol. Badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkannya. Pengawasan dilakukan melalui sidang panitia-panitia legislatif dan melalui hak-hak kontrol yang khusus, seprti hak bertanya, interpelasi dan sebagainya.
a.       Pertanyaan Parlemen :
Keanggotaan badan legislatif berhak untuk mengajukan pertanyaan kepeda pemerintah mengenai suatu masalah. Di Inggris kita melihat adanya jam I yang menbertanya, dimana pertanyaan diajukan secara lisan dalam sidang umum dan menteri yang bersangkutan atau kadang-kadang perdana menteri sendiri yang menjawab secara lisan. Oleh karena segala kegiatannya banyak menarik perhatian media massa, maka badan legislatif dengan mengajukan pertanyaan parlementer dapat menarik perhatian umum terhadap suatu peristiwa dan mengorek informasi mengenai kebijakan pemerintah. Di Indonesia semua badan legislatif, kecuali badan legislatif gotong royong di zaman Demokrasi Terpimpin, mempunyai hak bertanya. Pertanyaan ini biasanya diajukan secara tertulis dan dijawab pula secara tertulis oleh parlemen yang bersangkutan pertanyaan parlementer serta jawaban pemerintahan tidak banyak efek politiknya.
b.      Interpelasi
Kebanyakan badan legislatif mempunyai hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterngan kepada pemerintah mengenai kebijakan di suatu bidang. Badan eksekutif wajib memberi penjelasan dalam pleno, yang mana dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara mengenai apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. Jika hasil pemungutan suara bersifat negatif, hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa kebijakannya diragukan. Dalam hal ini terjadi perselisihan antara badan legislatif dan eksekutif, interpelasi dapat dijadikan batu loncatan untuk diajukan mosi tidak percaya. Di Indonesia semua badan legislatif, mempunyai hak interpelasi. Di Orde Baru hak ini tidak pernah digunakan. Hak ini kembali digunakan di era reformasi ketika DPR (2004-2009) mengusung interpelasi masalah impor beras dan lumpur lapindo. Usaha anggota dewan ini gagal karena tidak memenuhi kourum.
c.       Angket
Angket adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Untuk itu keperluan ini dapat dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatannya mengenai soal ini dengan harapan agar diperhatikan oleh pemerintah. Di zama Orde Baru hak ini tidak pernah digunakan.
d.      Mosi
Umumnya dianggap bahwa hak mosi merupakan hak kontrol yang paling ampuh. Jika badan legislatif menerima suatu mosi tidak percaya, maka dalam sistem parlemen kabinet harus mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis kabinet. Di indonesia pada masa sistem parlementer, legislatif mempunyai hak mosi, tetapi zaman demokrasi terpimpin ditiadakan. Pada masa reformasi, anggota DPR (1999-2004) menggunakan hak mosi ketika melakukan pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai presiden tahun 2001. Hal ini memang tidak lazim karena umumnya hak ini di gunakan dalam sistem parlementer dan bukan sistem presidensial.

3.      Fungsi Lainnya
Disamping fungsi legislasi dan kontrol, badan legislatif mempunyai beberapa fungsi lain. Dengan meningkatnya peranan badan eksekutif dan berkurangnya peranan badan legislatif di bidang perundang-undangan, dewasa ini lebih ditonjolkan peranan edukatifnya. Badan legislatif dianggap sebagai forum kerja sama antara berbagai golongan serta partai dengan pemerintah, dimana beraneka ragam pendapat di bicarakan di muka umum.
Bagi anggota badan legislatif terbuka kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beraneka ragam pandangan yang berkembang secara dinamis di dalam masyarakat. Dengan demikian jarak (gap) antara yang diperintah dengan yang memerintah dapat diperkecil. Dipihak lain, pembahasan kebijaksanaan pemerintah dimuka umum merupak kesempatan bagi pemerintah untuk menjelaskan tindakan-tindakan serta rencananya.
Melalui media massa masyarakat ramai diajak mengikuti persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan menilainya menurut kemampuan masing-masing. Dengan demikian rakyat dididik ke arah kewarganegaraan yang sadar dan bertanggung jawab, dan partisipasi politik dapat dibina. Suatu fungsi lain yang tidak kalah pentingnya ialah sebagai sarana rekrutmen politik. Ia merupakan training ground bagi generasi muda untuk mendapat pengalaman di bidang politik sampai ke tingkat nasional.
Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik Indonesia bercirikan lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga legislatif yang lemah (yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak dipilih dari kalangan militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini membuat kontrol institusi terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan antara eksekutif dan legislatif juga tak imbang karena budaya politik yang mendominasi hubungan antara struktur-struktur konstitusional. Ini bisa disebut sebagai budaya hierarki atau komando yang menghambat kontrol demokratis terhadap pemerintah dan yang bisa dihubungkan dengan, sebagian, absennya definisi peran legislatif dan eksekutif dan batas di antara mereka dalam UUD 1945. Untuk mengoreksi situasi ini, peran dan hubungan anrara lembaga eksekutif dan lcgislatif perlu dipelajari secara kritis. Perdebatan mutakhir berpusat di sekitar bentuk komposisi lembaga legislatif yang paling memadai. Lembaga legislatif mendapatkan baik kekuasaan untuk membuat aturan hukum maupun memperdebatkan kinerja lembaga eksekutif dan institusi-institusi pemerintah lain. Namun tantanganya adalah menemukan keseimbangan diantara legislatif yang berdaya dan lembaga eksekutif yang efektif sebab bukanlah peran legislatif untuk memerintah. legilatif juga berperan pcnting untuk mengajak atau mendorong perdebatan ekstra-parlementer yang lebih luas. Untuk melakukannya. harus ada akses terhadap informasi dan suatu sistem komisi yang aktif.
Periodisasi dari tarik-menarik dari lokus dan fokus kekuasaan dalam sejarah pemerintahan Indonesia dapat diuraikan berikut ini :
1.      Periode Orde Lama
semangat perjuangan masih mewamai penyelenggaraan pemerintahan kita. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa dan negara proklamasi. Sebagai contoh, penyimpangan pertama dari Bung Kamo terhadap UUD 1945 seperti disinggung di depan ialah diterimanya usulan Sjahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial dan diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan tokoh vokal dan amat disegani. Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo menerima usulan itu. Selain itu Bung Kamo juga menyadari bahwa KNIP belum mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu.
Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini. Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Semen tara 1950 diperlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi parlementer, bahwa Pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode
 ini terselenggara Pemilihan Umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerintah dibubarkan hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan partai-partai politik.
Mosi tidak percaya merupakan awal dari runtuhnya kabinet yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai politik yang anggotanya mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat. Sebaliknya lembaga pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya. Sementara itu aparat pemerintah yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan- kekuatan politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer mulai nampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yang merupakan hasil perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang menekankan bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan juga di bidang sosial dan politik.
2.      Periode Masa Orde Baru
Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana kedudukan dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga ini adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978). Namun dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun terhadap kekuasaan judikatif. Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena pengaturan yang terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal ini. Oleh sebab itu, tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut supremasi eksekutif.
Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD 1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 5 ayat 1).
Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13). Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian diwujudkan dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14). Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa orde baru. Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
3.      Periode Masa Orde Reformasi
Pada masa reformasi pemerintah menyentuh pada usaha penguatan fungsi-fungsi legislasi DPR. Pada masa orde baru DPR  hanya menjadi bagian kekuasaan dari orde baru, yang terkesan menjadi pengabsahan kebijakan pemerintah. Fungsi legislasitidak dapat berjalan dengan baik karena kuatnya kekuatan eksekutif. Meskipun UUD 1945 menegaskan bahwa posisi DPR dan presiden sama-sama kuat, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Pada masa reformasi, fungsi DPR lebih dipertegas lagi. Amandemen UUD 1945 pasal 20A menyebutkan bahwa : (1) DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
Berdasarkan amandemen diatas, manjadi jalas bagaimana kedudukan dan fungsi DPR lebih diperkuat dalam melakukan fungsi checks and balances. Dengan penguatan fungsi semacam ini, diharapkan kekuasaan eksekutif tidak bergerak ke arah otoritarianisme yang akhirnya menghambat penyelenggaraan pemerintah yang demokratis. Pengalaman pada masa lampau dimana kekuasaan eksekutif sangat kuat dan cenderung menyubordinasikan kekuasaan legislatif membuat reformasi politik ditujukan untuk lebih mendorong diterapkannya ajaran trias politica serta lebih murni dimana terdapat pemisahan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sebelumnya memilih era kepemimpinan pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari beberapa bentuk pemerintahan yang pernah ada di masa orde Reformasi, banyak bentuk-bentuk suatu kebijakan yang dirasa oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak lazim dan bertentangan dengan apa yang dinginkan oleh rakyatnya. Dan ini adalah suatu fenomena yang sangat menarik sehingga tertarik untuk memasukkannya dalam tulisan ini.
Era pemerintahan orde reformasi yang ketika dibawah kepemimpinan Gus Dur berusaha mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang khas yang dikenal sebagai “demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya demokratisasi Negara yang memprioritaskan upaya pemberdayaan dan keberdayaan masyarakat. Menurut Gus Dur upaya menciptakan demokrasi hamper identik dengan upaya pembangunan civil society, melalui saluran komunikasi yang dimilikinya, ia mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi petani, buruh, pedagang kecil, bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan dan menata diri mereka masing-masing. Kepemimpinan Gus Dur juga terkandung charisma hal ini karena eksistensinya dirinya, juga karena Gus Dur termasuk keluarga dari ulama yang sangat terkenal, baik dari orang tuanya maupun dari mertuanya. Namun karena pemikirannya yang democrat, didalam praktek kepemimpinannya lebih cenderung ke arah transformasional. Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir pemimpin ini lebih tertuju pada perubahan (shift) darikeyakinan – keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan –kebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan visi dan misi serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi seorang individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri. Dari aspek intelektual, pemimpin transformasional tidakpuas dengan pemecahan masalah yang bersifat parsial, meneriam keadaan status quo, atau melakukan seperti apa yang biasa di lakukan, ia sukamencari cara-carabaru, dalam berfikir lebih proaktif, gagasannya lebih kreatif, inovatif ; didalam ideology labih radikal dan reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidakmengalami hambatan berfikir dalam upaya mencari pemecahan masalah. Atribut-atribut diatas dapatlah di proyeksikan sebagai kepemimpinan yang ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat Gus Dur pemikirannya lebih democrat. Proactive dan inovatif. Namun pemimpin yang demikian harus diimbangi dengan para pembantu yang dimiliki daya persepsi tinggi, sebab apabila tidak maka sang pemimpin akan berjalan sendiri meninggalkan para pembantunya, sehingga para pembantunya tersebut akan berjalan ditempat atau menjadi bingung sendiri mengejar pemimpinnya. Yang dikhawatirkan adalah akibat kelebihan intelektualitas sang pemimpin, maka ia akan melakukan sesuatu kebijakan yang “uncontrollable” yang dapat membahayakan rakyat, bangsa dan Negara serta dirinya sendiri.
Terjadi apa yang menjadi kekhawatiran ini terjadi dengan sesungguhnya, dimana pada kenyataannya dilapangan, Presiden Gus Dur dengan kelebihan intelektualitasnya dan wisdomnya berjalan dengan sendiri jauh di depan para pembantunya sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan yang controversial di tengah-tengah masyarakat dan bahkan di sana-sini menimbulkan konflik kelembagaan sebagaimana yang ditampilkan oleh mekanisme kerja yang tidak serasi antar DPR dan pemerintah, demikian juga dalam perkara Bank kesemuanya ini menyebabkan pemerintahan dan kelembagaan Negara tidak berjalan dengan efektif dan bahakan cenderung menghasilkan keruntuhan hidup berbangsa dan bernegara Kesatuan Republik Indonesia.

A. Pengertian Badan Legislatif
Badan legislatif adalah struktur politik yang berfungsi mewakili warga negara di dalam proses pembuatan kebijakan negara. Legislatif itu sendiri berasal dari kata “legislate” yang berarti lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Anggotanya dianggap sebagai perwakilan rakyat, karena itulah lembaga legislatif sering dinamakan sebagai badan atau dewan perwakilan rakyat. Nama lain yang sering dipakai juga adalah parlemen, kongres, ataupun asembli nasional. Dalam sistem parlemen, legislatif adalah badan tertinggi yang menunjuk eksekutif. Sedangkan dalam sistem presiden, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas dari eksekutif.

B. Badan Legislatif di Indonesia
Melalui UUD 1945, dapat diketahui bahwa struktur legislatif yang ada di Indonesia terdiri atas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat RI, DPRD I, DPRD II), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Badan-badan ini memiliki fungsi dan wilayah kewenangan yang berbeda-beda. Sebab itu, Jimly Asshiddiqie dalam Beddy Irawan Maksudi menyebut Indonesia setelah amandemen IV UUD 1945, Indonesia merupakan sistem Trikameral (sistem tiga kamar) dalam lembaga perwakilan rakyat.
Untuk perbandingan, dapat kita lihat dari sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Di Negara tersebut kekuasaan legislative ada di tangan kongres. Kongres terdiri atas The House of Representatives dan Senates. Anggota The House of Representatives terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota Senates terdiri atas wakil-wakil Negara bagian. Kongres tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai badan tersendiri sebab ia hanya ada berkat gabungan antara anggota The House of Representatives dan Senates. Sementara di Indonesia, ada tiga lembaga perwakilan yang diakui konstitusi, yaitu MPR, DPR dan DPD.


1.      MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
MPR merupakan struktur legislatif yang berkedudukan di tingkat pusat. Setelah amandemen UUD 1945 ke-4 pada tanggal 10 Agustus 2002, maka MPR RI sebagai kelembagaan Negara, tidak lagi diberikan sebutan sebagai lembaga  tertinggi Negara dan hanya sebagai lembaga Negara, seperti juga DPR, Presiden, BPK dan MA. Dalam pasal 1 ayat 2 yang telah mengalami perubahan perihal kedaulatan disebutkan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar,” sehingga tampaklah bahwa MPR RI tidak lagi menjadi pelaksana kedaulatan rakyat. Juga susunan MPR RI telah berubah keanggotaanya, yaitu terdiri atas anggota DPR dan DPD yang kesemuanya direkrut melalui pemilu.
Jumlah anggota MPR saat ini adalah 678 orang yang terdiri atas 550 orang anggota DPR dan 128 orang anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR 5 tahun dan bersamaan pada saat anggota DPR dan anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah atau janji. Tugas dan wewenang MPR di atur dalam pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi :
1)      Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2)      Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3)      Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Dari pasal di atas dapat di jabarkan lagi bahwa tugas dan wewenang MPR tersebut meliputi (dalam UU No. 27 Tahun 2009 pada pasal 4) :
a.       Mengubah dan menetapkan UUD Negara RI Tahun 1945.
b.      Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum (pemilu).
c.       Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
d.      Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya.
e.       Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
f.       Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti atau diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Selain tugas dan wewenang tersebut anggota MPR memiliki hak pada pasal 9, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Mengajukan usul pengubahan pasal UUD 1945.
b.      Menetukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
c.       Memilih dan dipilih.
d.      Membela diri.
e.       Hak imunitas.
f.       Hak protokoler.
g.      Hak keuangan dan administratif.
h.      Bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun di ibu kota Negara.
Selain mempunyai hak, MPR juga memiliki kewajiban yang diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 pada pasal 10 :
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundangundangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
2.      DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
DPR adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenanganmembentuk undang-undang. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang di pilih melalui pemilihan umum. Dan dalam membentuk undang-undang tersebut DPR harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden.
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPR adalah sebagai berikut (dilihat dari UUD 1945) :
a.       Legislatif (DPR) mempunyai kewenangan mengusulkan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden kepada MPR, terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi dan seterusnya.
Hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 7B ayat 1 yang menyatakan“Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b.      DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang.
Hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat 1 yang menyatakan“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”
Dan juga terdapat dalam Pasal 20 ayat 2 yang menyatakan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”
c.       Di dalam DPR menetapkan rancangan undang-undang, tidak di sahkan oleh Presiden Rancangan Undang-Undang tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Hal ini termuat dalam UUD 1945 pasal 20 ayat 5 yang menyatakan“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”
d.      Setiap anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
Hal ini termuat di dalam UUD 1945 Pasal 21 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
Fungsi dari DPR adalah fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat 1 yang menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memilki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”.
a.       Fungsi legislasi adalah fungsi yang dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.
b.      Fungsi penganggaran adalah fungsi yang dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau  tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-unang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
c.       Fungsi pengawasan yaitu fungsi yang dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Dalam rangka fungsi sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945 menentukan pula:
1)      Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
2)      Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkaitdengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
3)      Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Selain itu terdapat pula dalam Pasal 13 ayat 2 dan 3 yaitu :
2)      Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
3)      Presiden menerima penempatan duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain itu terdapat pula dalam Pasal 14 ayat 2 yang menyatakan bahwa“Presiden member amnesty dan abolisi dengan memperhatiakan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”
Hak DPR adalah hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat sebagaimana yang termuat di dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat 2 yang menyatakan ”Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat”.
a.       Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebjakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampakluas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b.      Hak angket hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c.       Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
  • Kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
  • Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket;
  • Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Selain hak DPR tersebut anggota DPR pun memiliki hak selaku perseorangan, hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat 3 dan 4 yang memuat :
3)      Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
4)      Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dwan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.


Hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersebut diantaranya adalah :
  1. Hak mengajukan rancangan undang-undang adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang.
  2. Hak mengajukan pertanyaan adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden baik yang disusun secara lisan/tulisan, singkat, jelas dan dismpaikan kepada pimpinan DPR.
  3. Hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak setiap anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang diicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
  4. Hak smemilih dan dipilih adalah hak setiap anggota DPR untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelangkapan DPR sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
  5. Hak membela diri adalah hak setiap anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri dan/atau member keterangan kepada Badan Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya.
  6. Hak imunitas adlah hak setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukan secara lisan ataupun tertulus dalam rapat-rapat DPR sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan KOde Etik anggota dewan.
  7. Hak protokoler adalah hak setiapanggota DPR bersama pimpinan DPR sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  8. Hak keuangan dan administratif adalah hak setiap anggota DPR untuk beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan dan fasilitas lain yang mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat.
Untuk lebih lengkapnya mengenai tuga dan wewenang DPR, diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 pada pasal 71 sebanyak 20 ayat, hak DPR terdapat pada pasal 78 sebanyak 8 ayat dan kewajibannya terdapat pada pasal  79 sebanyak 11 ayat.

3.      DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga daerah dalam sistemketatanegaraan Republik Indonesia, dengan maksud untuk memberikan tempat bagi daerah-daerah menempatkan wakilnya dalam lembaga perwakilan tingkat nasional untuk mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan daerah-daerahnya, sehingga memperkuat kesatuan nasional.
Kewenangan yang dimiliki oleh DPD termuat di dalam UUD 1945 Pasal 22D yang menyatakan :
1)      DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah pembentukan serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dn sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2)      DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemerakan dan pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan UU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
3)      DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada PDR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

DPD mempunyai fungsi yang terdapat pada UU No.27 Tahun 2009 pada pasal 223, yaitu:
a.       pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b.      ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c.       pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
d.      pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

DPD mempunyai tugas dan wewenang dalam UU No.27 Tahun 2009 pada pasal 224, yaitu:
a)      dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b)      ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c)      ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d)      memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e)      dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f)       menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g)      menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h)      memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i)        ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD mempunyai hak:
1)      mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2)      ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
3)      memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang  yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
4)      melakukan pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar