|
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
KELOMPOK : 5
Nama
Anggota : SRI ARUM E.S (06)
TATIK
OKTAVIANI
TUTIK
UTARI
YUNITA
KARINA
YUWANITA
KARTIKA N. (36)
Kelas : XII AKUNTANSI 4
|
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
ISI MATERI : 1. PEMILU
di INDONESIA
2. PERIODISASI / KONSTITUSI di INDONESIA
3. AMANDEMEN
4. KEKUASAAN
di INDONESIA
5. PERKEMBANGAN KEKUASAAN WILAYAH NKRI
KELAS : XII AKUNTANSI 4
Sejarah
Lembaga Legislatif di Indonesia
A. Volksraad (1918-1942)
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.
Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
A.1. Pengisian Jabatan dan Komposisi
Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:
a. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
b. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
c. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.
Tahun 1927:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)
Anggota: 55 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25 orang)
Tahun 1930:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)
Anggota: 60 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30 orang)
Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.
A.2. Tugas Volksraad
Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.
Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.
Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli.
Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
· 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
· 5 orang mewakili P.P.B.B.
· 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
· 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
· 3 orang mewakili Parindra
· 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)
· 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
· 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)
· 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia
· 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)
Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.
B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.
C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
C.1. DPR-RIS
Jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian dengan perincian sebagai berikut:
a. Republik Indonesia 49 orang
b. Indonesia Timur 17 orang
c. Jawa Timur 15 orang
d. Madura 5 orang
e. Pasundan 21 orang
f. Sumatera Utara 4 orang
g. Sumatera Selatan 4 orang
h. Jawa Tengah 12 orang
i. Bangka 2 orang
j. Belitung 2 orang
k. Riau 2 orang
l. Kalimantan Barat 4 orang
m. Dayak Besar 2 orang
n. Banjar 3 orang
o. Kalimantan Tenggara 2 orang
p. Kalimantan Timur 2 orang
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.
Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik. Dalam masa kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil mengesahkan tujuh undang-undang.
C.2. Senat-RIS
Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS.
D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
D.1. Keanggotaan DPRS
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.
Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954):
1. Masjumi 43 orang
2. PNI 42 orang
3. PIR-Hazairin 19 orang 22 orang
4. PIR-Wongso 3 orang
5. PKI 17 orang
6. PSI 15 orang
7. PRN 13 orang
8. Persatuan Progresif 10 orang
9. Demokrat 9 orang
10. Partai Katolik 9 orang
11. NU 8 orang
12. Parindra 7 orang
13. Partai Buruh 6 orang
14. Parkindo 5 orang
15. Partai Murba 4 orang
16. PSII 4 orang
17. SKI 4 orang
18. SOBSI 2 orang
19. BTI 1 orang
20. GPI 1 orang
21. Perti 1 orang
22. Tidak berpartai 11 orang
D.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRS
a. Kedudukan dan Tugas DPRS
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.
b. Hak-hak dan Kewajiban DPRS
(i) Hak Amandemen
DPR berhak mengadakan perubahan-perubahan usul UU yang dimajukan pemerintah kepadanya.
(ii) Hak Menanya dan Hak Interpelasi
DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari menteri-menteri, yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI.
(iii) Hak Angket
DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU.
(iv) Hak Kekebalan (imunitet)
Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang dikemukakan dalam rapat atau surat kepada majelis, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.
(v) Forum Privelegiatum
Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan UU.
(vi) Hak mengeluarkan suara.
D.3. Hubungan DPRS dengan pemerintah
Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi.
D.4. Hasil-hasil pekerjaan DPRS
a. menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU
b. 11 kali pembicaraan tentang keterangan pemerintah
c. 82 buah mosi/resolusi.
d. 24 usul interpelasi.
e. 2 hak budget.
E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)
DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS.
Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.
F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR).
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu:
a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966.
b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.
c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966.
d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966.
Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.
H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk dua panitia:
1. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
2. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat). Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara, perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode 1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).
L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)
Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.
Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.
Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
A.1. Pengisian Jabatan dan Komposisi
Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:
a. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
b. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
c. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.
Tahun 1927:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)
Anggota: 55 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25 orang)
Tahun 1930:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)
Anggota: 60 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30 orang)
Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.
A.2. Tugas Volksraad
Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.
Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.
Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli.
Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
· 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
· 5 orang mewakili P.P.B.B.
· 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
· 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
· 3 orang mewakili Parindra
· 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)
· 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
· 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)
· 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia
· 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)
Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.
B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.
C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
C.1. DPR-RIS
Jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian dengan perincian sebagai berikut:
a. Republik Indonesia 49 orang
b. Indonesia Timur 17 orang
c. Jawa Timur 15 orang
d. Madura 5 orang
e. Pasundan 21 orang
f. Sumatera Utara 4 orang
g. Sumatera Selatan 4 orang
h. Jawa Tengah 12 orang
i. Bangka 2 orang
j. Belitung 2 orang
k. Riau 2 orang
l. Kalimantan Barat 4 orang
m. Dayak Besar 2 orang
n. Banjar 3 orang
o. Kalimantan Tenggara 2 orang
p. Kalimantan Timur 2 orang
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.
Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik. Dalam masa kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil mengesahkan tujuh undang-undang.
C.2. Senat-RIS
Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS.
D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
D.1. Keanggotaan DPRS
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.
Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954):
1. Masjumi 43 orang
2. PNI 42 orang
3. PIR-Hazairin 19 orang 22 orang
4. PIR-Wongso 3 orang
5. PKI 17 orang
6. PSI 15 orang
7. PRN 13 orang
8. Persatuan Progresif 10 orang
9. Demokrat 9 orang
10. Partai Katolik 9 orang
11. NU 8 orang
12. Parindra 7 orang
13. Partai Buruh 6 orang
14. Parkindo 5 orang
15. Partai Murba 4 orang
16. PSII 4 orang
17. SKI 4 orang
18. SOBSI 2 orang
19. BTI 1 orang
20. GPI 1 orang
21. Perti 1 orang
22. Tidak berpartai 11 orang
D.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRS
a. Kedudukan dan Tugas DPRS
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.
b. Hak-hak dan Kewajiban DPRS
(i) Hak Amandemen
DPR berhak mengadakan perubahan-perubahan usul UU yang dimajukan pemerintah kepadanya.
(ii) Hak Menanya dan Hak Interpelasi
DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari menteri-menteri, yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI.
(iii) Hak Angket
DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU.
(iv) Hak Kekebalan (imunitet)
Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang dikemukakan dalam rapat atau surat kepada majelis, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.
(v) Forum Privelegiatum
Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan UU.
(vi) Hak mengeluarkan suara.
D.3. Hubungan DPRS dengan pemerintah
Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi.
D.4. Hasil-hasil pekerjaan DPRS
a. menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU
b. 11 kali pembicaraan tentang keterangan pemerintah
c. 82 buah mosi/resolusi.
d. 24 usul interpelasi.
e. 2 hak budget.
E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)
DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS.
Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.
F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR).
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu:
a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966.
b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.
c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966.
d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966.
Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.
H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk dua panitia:
1. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
2. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat). Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara, perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode 1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).
L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)
Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.
Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.
Pembagian Kekuasan Di Indonesia
Orang pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan
negara tersebut adalah John Locke, yang didalam bukunya “ Two Treatises on
Civil Government” memisahkan kekuasaan negara dalam tiga bidang yaitu:
a. Kekuasaan dalam
bidang pembuatan Undang-Undang ( Legislatif)
b. Kekuasaan dalam
melaksanakan/menjalankan Undang-undang (Eksekutif)
c. Kekuasaan dalam
bidang hubungan luar negri, perjanjian atau perserikatan dengan orang-orang,
lembaga atau negara-negara lain (Federatif)
Beberapa waktu kemudian Montesquieu, yang mengemukakan teori
pembagian kekuasaan negara kedalam 3 bidang yang terpisah satu sama lain, yaitu
:
a. Legislatif
(Perundang-undangan), yaitu kekuasaan dalam pembuatan Undang-Undang dalam arti
formal;
b. Eksekutif
(Pelaksanaan), ialah kekuasaan yang berwenang melaksanakan segala tindakan yang
telah diperintahkan oleh Undang-Undang dan yang diperlukan guna
terselenggaranya tujuan-tujuan/ maksud-maksud yang tersirat dalam undang-undang
itu;
c. Yudikatif
(peradilan), yaitu kekuasaan yang berwenang menjaga agar Undang-Undang itu
dapat dijalankan sebagaiman mestinya, dengan memberikan reaksi dengan cara
menimbang dan mengadili terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan atau
menyimpang dari undang-undang dan menghalangi tercapainya tujuan-tujuan dan
maksud-maksud dari perundangan-undangan tersebut.
Badan Legislatif
Badan legislatif mencerminkan salah satu fungsi badan itu,
yaitu legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai
ialah Assembly yang mengutamakan unsur berkumpul. Nama lain adalah parliament,
suatu istilah yang menekankan unsur bicara dan merundingkan. Sebutan lain
mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan
Dewan perwakilan rakyat. Akan tetapi apapun perbedaan dalam namanya dapat
dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.
Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat; rakyat
yang berdaulat mempunyai kehendak. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan
ini merupakan suara yang authentic dari general will itu. Karena itu keputusan-keputusannya,
baik yang bersifat kebijakn maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat[6].
Pendapat Rousseau, tentang volonte Generale atau General Will yang menyatakan
bahwa “rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu
kemauan”. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dianggap
merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum ini dengan jalan mengikat seluruh
masyarakat. Undang-Undang yang dibuatnya mencerminkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa merupakan badan yang
membuat keputusan yang menyangkut kepentingan umum[7].
Tidak dari semula badan legislatif mempunyai wewenang untuk
menetukan kebijakan umum dan membuat undang-undang. Parlemen Inggris yang
merupakan badan legislatif tertua di dunia, mula-mula hanya bertugas
mengumpulkan dana untuk memungkinkan raja membiayai kegiatan pemerintahan serta
peperangan. Akan tetapi lambat laun setiap penyerahan dana oleh golongan elite
disertai tuntutan agar pihak raja menyerahkan pula beberapa hak sebagai
imbalan. Dengan demikian secara berangsur-angsur parlemen berhasil bertindak
sebagai badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan
itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya didalam
undang-undang. Badan eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan
umum itu. Rousseau yang merupakan pelopor dari gagasan kedaulatan rakyat tidak
menyetujui adanya badan perwakilan, tetapi mencita-citakan suatu bentuk
demokrasi langsung, dimana rakyat secara langsung merundingkan serta memusatkan
soal-soal negara dan politik. Akan tetapi dewasa ini demokrasi langsung seperti
yang diinginkan oleh Rousseau dianggap tidak praktis, dan hanya dipertahankan
dalam bentuk khusus dan terbatas seperti referendum, plebisit dan sebagainya.
Boleh dikatakan bahwa dalam negara modern dewasa ini demokrasi langsung seperti
yang diinginkan oleh Rousseau dianggap tidak praktis, dan hanya dipertahankan
dalam bentuk khusus dan terbatas seperti referendum, plebisit, dan sebagainya.
Boleh dikatakan bahwa dalam negara modern dewasa ini rakyat menyelenggarakan
kedaulatan yang dimilikinya melalui wakil-wakil yang dipilih secara berkala.
Dewan perwakilan Rakyat di negara demokratis disusun
sedemikian rupa sehingga ia mewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah
bertanggung jawab kepadanya. Untuk meminjam perumusan C.F Strong : “ Demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari
masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa
pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada
mayoritas itu. Dengan perkataan lain negara yang demokratis yang menjamin
kedaulatan rakyat.
Badan Legislatif mempunyai fungsi yang paling penting
adalah:
1. Menentukan kebijakan
(policy) dan membuat undang-undang. Untuk itu badan legislatif diberi hak
inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang
disusun oleh pemerintah terutama dibidang budget atau anggaran.
2. Mengontrol badan
Eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini,
badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus.
Disamping itu terdapat banyak badan legislatif yang
menyelenggarakan beberapa fungsi lain seperti mengesahkan (ratify)
perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif. Adapun
fungsi dari badan Legislatif adalah [8]:
1. Fungsi Legislasi
Menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak
dibidang perundang-undangan, sekalipun ia tidak mempunyai monopoli di bidang
itu. Untuk membahas rancangan undang-undang sering dibentuk panitia-panitia
yang berwenang untuk memanggil materi atau pejabat lainnya untuk dimintai
keterangan seperlunya. Akan tetapi gejala dewasa ini telah menjadi gejala umum
bahwa titik berat dibidang legislatif telah banyak bergeser ke badan eksekutif.
Mayoritas Undang-undang dirumuskan dan dipersiapkan oleh badan eksekutif,
sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamandemennya. Sebagai rumus
umum dapat dikatakan bahwa dikebanyakan negara yang dipantau persentase jumlah
rancangan undang-undang yang diterima baik oleh badan legislatif dibanding
dengan jumlah rancangan undang-undang yang berasal dari badan eksekutif,
sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamandemennya. Sebagai rumus
dapat dikatakan bahwa di kebanyakan negara yang dipantau enactment rate
(persentase jumlah rancangan undang-undang yang diterima baik badan legislatif
dibanding dengan jumlah rancangan undang-undang yang berasal dari badan
eksekutif adalah 90%.
Keadaan ini tidak mengherankan sebab dalam negara moden
badan eksekutif didukung oleh staff ahli dan sarana-sarana lainnya
dimasing-masing kementrian, yang memang merupakan syarat mutlak untuk
merumuskan rancangan undang-undang. Sebaliknya keahlian anggota-anggota badan
legislatif lebih terbatas, sekalipun di beberapa negara legislatif dibantu oleh
staf administrasi dan ahli research yang berkualitas tinggi. Akan tetapi pada
umumnya di bidang keuangan, pengaruh badan legislatif lebih besar dari pada di
bidang legislasi umum. Rancangan anggaran belanja diajukan ke badan legislatif
oleh badan eksekutif, akan tetapi badan ini menentukan seberapa anggaran
pemerintah dapat disetujuai. Jadi, badan legislatiflah yang pada akhirnya
menentukan seberapa anggaran pemerintah dapat disetujui. Jadi badan legislatif
oleh badan eksekutif, akan tetapi badan ini menentukan seberapa anggran
pemerintah dapat disetujui. Jadi badan legislatiflah yang pada akhirnya
menentukan beberapa dan dengan cara bagaimana uang rakyat dipergunakan.
Dinegara yang badan eksekutifnya dominan, badan legislatif
biasanya tidak akan terlalu banyak mengubah rancangan anggaran belanja. Akan
tatapi di negara yang badan legislatifnya kuat, badan itu dapat saja mengadakan
banyak perubahan, termasuk mengurangi anggaran yang akan dipergunakan
2. Fungsi Kontrol
Dengan semakin berkurangnya pengaruh badan legislatif di
bidang legislatif maka peranannya di bidang pengawasan dan kontrol bertambah
menonjol. Badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan
eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkannya. Pengawasan
dilakukan melalui sidang panitia-panitia legislatif dan melalui hak-hak kontrol
yang khusus, seprti hak bertanya, interpelasi dan sebagainya.
a. Pertanyaan
Parlemen :
Keanggotaan badan legislatif berhak untuk mengajukan
pertanyaan kepeda pemerintah mengenai suatu masalah. Di Inggris kita melihat
adanya jam I yang menbertanya, dimana pertanyaan diajukan secara lisan dalam
sidang umum dan menteri yang bersangkutan atau kadang-kadang perdana menteri
sendiri yang menjawab secara lisan. Oleh karena segala kegiatannya banyak
menarik perhatian media massa, maka badan legislatif dengan mengajukan pertanyaan
parlementer dapat menarik perhatian umum terhadap suatu peristiwa dan mengorek
informasi mengenai kebijakan pemerintah. Di Indonesia semua badan legislatif,
kecuali badan legislatif gotong royong di zaman Demokrasi Terpimpin, mempunyai
hak bertanya. Pertanyaan ini biasanya diajukan secara tertulis dan dijawab pula
secara tertulis oleh parlemen yang bersangkutan pertanyaan parlementer serta
jawaban pemerintahan tidak banyak efek politiknya.
b. Interpelasi
Kebanyakan badan legislatif mempunyai hak interpelasi, yaitu
hak untuk meminta keterngan kepada pemerintah mengenai kebijakan di suatu
bidang. Badan eksekutif wajib memberi penjelasan dalam pleno, yang mana dibahas
oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara mengenai apakah
keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. Jika hasil pemungutan suara
bersifat negatif, hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa
kebijakannya diragukan. Dalam hal ini terjadi perselisihan antara badan
legislatif dan eksekutif, interpelasi dapat dijadikan batu loncatan untuk
diajukan mosi tidak percaya. Di Indonesia semua badan legislatif, mempunyai hak
interpelasi. Di Orde Baru hak ini tidak pernah digunakan. Hak ini kembali
digunakan di era reformasi ketika DPR (2004-2009) mengusung interpelasi masalah
impor beras dan lumpur lapindo. Usaha anggota dewan ini gagal karena tidak
memenuhi kourum.
c. Angket
Angket adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan
penyelidikan sendiri. Untuk itu keperluan ini dapat dibentuk suatu panitia
angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan legislatif
lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatannya mengenai soal ini dengan
harapan agar diperhatikan oleh pemerintah. Di zama Orde Baru hak ini tidak
pernah digunakan.
d. Mosi
Umumnya dianggap bahwa hak mosi merupakan hak kontrol yang
paling ampuh. Jika badan legislatif menerima suatu mosi tidak percaya, maka
dalam sistem parlemen kabinet harus mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis
kabinet. Di indonesia pada masa sistem parlementer, legislatif mempunyai hak
mosi, tetapi zaman demokrasi terpimpin ditiadakan. Pada masa reformasi, anggota
DPR (1999-2004) menggunakan hak mosi ketika melakukan pemakzulan Presiden
Abdurrahman Wahid sebagai presiden tahun 2001. Hal ini memang tidak lazim karena
umumnya hak ini di gunakan dalam sistem parlementer dan bukan sistem
presidensial.
3. Fungsi Lainnya
Disamping fungsi legislasi dan kontrol, badan legislatif
mempunyai beberapa fungsi lain. Dengan meningkatnya peranan badan eksekutif dan
berkurangnya peranan badan legislatif di bidang perundang-undangan, dewasa ini
lebih ditonjolkan peranan edukatifnya. Badan legislatif dianggap sebagai forum
kerja sama antara berbagai golongan serta partai dengan pemerintah, dimana
beraneka ragam pendapat di bicarakan di muka umum.
Bagi anggota badan legislatif terbuka kesempatan untuk
bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beraneka ragam pandangan
yang berkembang secara dinamis di dalam masyarakat. Dengan demikian jarak (gap)
antara yang diperintah dengan yang memerintah dapat diperkecil. Dipihak lain,
pembahasan kebijaksanaan pemerintah dimuka umum merupak kesempatan bagi
pemerintah untuk menjelaskan tindakan-tindakan serta rencananya.
Melalui media massa masyarakat ramai diajak mengikuti persoalan
yang menyangkut kepentingan umum dan menilainya menurut kemampuan
masing-masing. Dengan demikian rakyat dididik ke arah kewarganegaraan yang
sadar dan bertanggung jawab, dan partisipasi politik dapat dibina. Suatu fungsi
lain yang tidak kalah pentingnya ialah sebagai sarana rekrutmen politik. Ia
merupakan training ground bagi generasi muda untuk mendapat pengalaman di
bidang politik sampai ke tingkat nasional.
Peran dan Hubungan Antar-Lembaga Sistem politik Indonesia
bercirikan lembaga eksekutif yang kuat yang disokong oleh lembaga legislatif
yang lemah (yang di dalamnya termasuk anggota-anggota yang tidak dipilih dari
kalangan militer dan kelompok-kelompok fungsional). Hal ini membuat kontrol
institusi terhadap lembaga eksekutif berkurang. Hubungan antara eksekutif dan
legislatif juga tak imbang karena budaya politik yang mendominasi hubungan
antara struktur-struktur konstitusional. Ini bisa disebut sebagai budaya
hierarki atau komando yang menghambat kontrol demokratis terhadap pemerintah
dan yang bisa dihubungkan dengan, sebagian, absennya definisi peran legislatif
dan eksekutif dan batas di antara mereka dalam UUD 1945. Untuk mengoreksi
situasi ini, peran dan hubungan anrara lembaga eksekutif dan lcgislatif perlu
dipelajari secara kritis. Perdebatan mutakhir berpusat di sekitar bentuk
komposisi lembaga legislatif yang paling memadai. Lembaga legislatif
mendapatkan baik kekuasaan untuk membuat aturan hukum maupun memperdebatkan
kinerja lembaga eksekutif dan institusi-institusi pemerintah lain. Namun
tantanganya adalah menemukan keseimbangan diantara legislatif yang berdaya dan
lembaga eksekutif yang efektif sebab bukanlah peran legislatif untuk
memerintah. legilatif juga berperan pcnting untuk mengajak atau mendorong
perdebatan ekstra-parlementer yang lebih luas. Untuk melakukannya. harus ada
akses terhadap informasi dan suatu sistem komisi yang aktif.
Periodisasi dari tarik-menarik dari lokus dan fokus
kekuasaan dalam sejarah pemerintahan Indonesia dapat diuraikan berikut ini :
1. Periode Orde
Lama
semangat perjuangan masih mewamai penyelenggaraan
pemerintahan kita. Para pelakunya masih kuat iman untuk berjuang demi negara
dan persatuan bangsa. Bahkan tidak jarang diperlihatkan oleh kekuatan mayoritas
menekan kepentingannya sendiri untuk menghargai kepentingan minoritas demi
kesatuan dan persatuan bangsa dan negara proklamasi. Sebagai contoh,
penyimpangan pertama dari Bung Kamo terhadap UUD 1945 seperti disinggung di
depan ialah diterimanya usulan Sjahrir untuk tidak menggunakan kabinet presidensial
dan diganti dengan kabinet parlementer. Sjahrir sendiri saat itu merupakan
tokoh vokal dan amat disegani. Demi persatuan dan kesatuan, maka Bung Kamo
menerima usulan itu. Selain itu Bung Kamo juga menyadari bahwa KNIP belum
mencerminkan kekuatan politik riil yang anggotanya (tidak dipilih akan tetapi
ditunjuk) tidak mewakili kekuatan sosial politik nyata saat itu.
Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini. Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Semen tara 1950 diperlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi parlementer, bahwa Pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode
Semangat primordial, walaupun ada, untuk sementara waktu kalah oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik primordial yang mengancam negara proklamasi adalah PKI yang melakukan pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara. Pada awal kemerdekaan ada semacam kesepakatan bahwa lembaga pemerintahan merupakan merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini cukup beralasan, karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak gejala semakin menguatnya aspirasi primordial dalam lembaga birokrasi pemerintah kita. Lembaga ini menjadi incaran kekuatan-kekuatan politik. Partai-partai politik mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintah ini. Gejala semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Semen tara 1950 diperlakukan. Dalam UUD ini dianut sistem demokrasi parlementer, bahwa Pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode
ini terselenggara Pemilihan Umum pertama yang dikenal
sangat demokratis. Ketika itu semua partai politik yang memenangkan suara
berkeinginan untuk menguasai beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi
kabinet pemerintah dibubarkan hanya karena pembagian kementerian yang tidak
sesuai dengan tuntutan partai-partai politik.
Mosi tidak percaya merupakan awal dari runtuhnya kabinet
yang memimpin lembaga pemerintah. Pemerintah di bawah kepemimpinan partai
politik yang anggotanya mendominasi DPR. Kedudukan DPR kuat. Sebaliknya lembaga
pemerintah dapat dikatakan lemah posisinya. Sementara itu aparat pemerintah
yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan- kekuatan
politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut
memainkan peran dalam percaturan politik. Partisipasi politik militer mulai
nampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yang merupakan hasil perjuangan
untuk menegakkan kemerdekaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi. Peran
tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang menekankan bahwa
militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja, melainkan
juga di bidang sosial dan politik.
2. Periode Masa
Orde Baru
Hubungan dan kedudukan antara eksekutif (Presiden) dan
legislatif (DPR) dalam sistem UUD 1945 sebenarnya telah diatur. Dimana
kedudukan dua lembaga ini (Presiden dan DPR) adalah sama karena kedua lembaga
ini adalah merupakan lembaga tinggi negara (Tap MPR No.III/MPR/1978). Namun
dalam praktik ketatanegaraan dan proses jalannya pemerintahan pada masa rezim
Orde Baru, kekuasaan eksekutif begitu dominan terhadap semua aspek kehidupan
berkepemerintahan dalam negara kita, terhadap kekuasaan legislatif maupun
terhadap kekuasaan judikatif. Keadaan ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan,
karena pengaturan yang terdapat di dalam UUD 1945 memungkinkan terjadinya hal
ini. Oleh sebab itu, tidak salah pula apabila terdapat pandangan yang
menyatakan bahwa UUD 1945 menganut supremasi eksekutif.
Dominasi/supremasi kekuasaan eksekutif mendapat legitimasi
konstitusionalnya, karena dalam Penjelasan Umum UUD 1945 pada bagian Sistem
Pemerintahan Negara Kunci Pokok IV sendiri dinyatakan bahwa Presiden adalah
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah Majelis. Dalam sistem UUD
1945 (sebelum diamandemen), Presiden memiliki beberapa bidang kekuasaan. Selain
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (pasal 4 ayat 1), Presiden memiliki
kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 5 ayat 1).
Demikian juga Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang
sangat besar, yaitu kekuasaan membuat berbagai macam perjanjian internasional
dan mengangkat serta menerima duta dari negara lain (pasal 11 dan pasal 13).
Sama halnya dalam bidang hukum (kekuasaan di bidang justisial) yang kemudian
diwujudkan dalam pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi (pasal 14).
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin mendapat ruang geraknya ketika penguasa
melakukan monopoli penafsiran terhadap pasal 7. Penafsiran ini menimbulkan
implikasi yang sangat luas karena menyebabkan Presiden dapat dipilih kembali
untuk masa yang tidak terbatas. Begitu besarnya kekuasaan Presiden pada masa
orde baru. Presiden juga memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan MPR
(pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal
yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi. Sistem
kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai alat
penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai
mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini
pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang seharusnya
dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
3. Periode Masa
Orde Reformasi
Pada masa reformasi pemerintah menyentuh pada usaha
penguatan fungsi-fungsi legislasi DPR. Pada masa orde baru DPR hanya
menjadi bagian kekuasaan dari orde baru, yang terkesan menjadi pengabsahan
kebijakan pemerintah. Fungsi legislasitidak dapat berjalan dengan baik karena
kuatnya kekuatan eksekutif. Meskipun UUD 1945 menegaskan bahwa posisi DPR dan
presiden sama-sama kuat, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Pada
masa reformasi, fungsi DPR lebih dipertegas lagi. Amandemen UUD 1945 pasal 20A
menyebutkan bahwa : (1) DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan
fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain UUD, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini,
setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat serta hak imunitas.
Berdasarkan amandemen diatas, manjadi jalas bagaimana
kedudukan dan fungsi DPR lebih diperkuat dalam melakukan fungsi checks and
balances. Dengan penguatan fungsi semacam ini, diharapkan kekuasaan eksekutif
tidak bergerak ke arah otoritarianisme yang akhirnya menghambat penyelenggaraan
pemerintah yang demokratis. Pengalaman pada masa lampau dimana kekuasaan
eksekutif sangat kuat dan cenderung menyubordinasikan kekuasaan legislatif
membuat reformasi politik ditujukan untuk lebih mendorong diterapkannya ajaran
trias politica serta lebih murni dimana terdapat pemisahan legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
Sebelumnya memilih era kepemimpinan pemerintahan KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari beberapa bentuk pemerintahan yang pernah ada
di masa orde Reformasi, banyak bentuk-bentuk suatu kebijakan yang dirasa oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia sangat tidak lazim dan bertentangan dengan
apa yang dinginkan oleh rakyatnya. Dan ini adalah suatu fenomena yang sangat
menarik sehingga tertarik untuk memasukkannya dalam tulisan ini.
Era pemerintahan orde reformasi yang ketika dibawah
kepemimpinan Gus Dur berusaha mencoba menampilkan strategi demokratisasi yang
khas yang dikenal sebagai “demokrasi bawah”, yaitu suatu demokrasi dan upaya
demokratisasi Negara yang memprioritaskan upaya pemberdayaan dan keberdayaan
masyarakat. Menurut Gus Dur upaya menciptakan demokrasi hamper identik dengan
upaya pembangunan civil society, melalui saluran komunikasi yang dimilikinya,
ia mencoba memberikan satu kerangka kerja bagi petani, buruh, pedagang kecil,
bahkan pegawai pemerintah untuk menyalurkan dan menata diri mereka
masing-masing. Kepemimpinan Gus Dur juga terkandung charisma hal ini karena
eksistensinya dirinya, juga karena Gus Dur termasuk keluarga dari ulama yang sangat
terkenal, baik dari orang tuanya maupun dari mertuanya. Namun karena
pemikirannya yang democrat, didalam praktek kepemimpinannya lebih cenderung ke
arah transformasional. Kepemimpinan dengan pola transformasional, pola pemikir
pemimpin ini lebih tertuju pada perubahan (shift) darikeyakinan – keyakinan,
nilai-nilai, kebutuhan –kebutuhan dan kemampuan pengikut. Ia mampu menyampaikan
visi dan misi serta mampu membangkitkan motivasi para pengikut untuk menjadi
seorang individu yang seutuhnya dan mampu mengaktualisasikan diri. Dari aspek
intelektual, pemimpin transformasional tidakpuas dengan pemecahan masalah yang
bersifat parsial, meneriam keadaan status quo, atau melakukan seperti apa yang
biasa di lakukan, ia sukamencari cara-carabaru, dalam berfikir lebih proaktif,
gagasannya lebih kreatif, inovatif ; didalam ideology labih radikal dan
reaksioner dibandingkan konservatif ; serta tidakmengalami hambatan berfikir
dalam upaya mencari pemecahan masalah. Atribut-atribut diatas dapatlah di
proyeksikan sebagai kepemimpinan yang ditetapkan oleh Gus Dur. Mengingat Gus
Dur pemikirannya lebih democrat. Proactive dan inovatif. Namun pemimpin yang
demikian harus diimbangi dengan para pembantu yang dimiliki daya persepsi
tinggi, sebab apabila tidak maka sang pemimpin akan berjalan sendiri
meninggalkan para pembantunya, sehingga para pembantunya tersebut akan berjalan
ditempat atau menjadi bingung sendiri mengejar pemimpinnya. Yang dikhawatirkan
adalah akibat kelebihan intelektualitas sang pemimpin, maka ia akan melakukan
sesuatu kebijakan yang “uncontrollable” yang dapat membahayakan rakyat, bangsa
dan Negara serta dirinya sendiri.
Terjadi apa yang menjadi kekhawatiran ini terjadi dengan
sesungguhnya, dimana pada kenyataannya dilapangan, Presiden Gus Dur dengan
kelebihan intelektualitasnya dan wisdomnya berjalan dengan sendiri jauh di
depan para pembantunya sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan atau
pernyataan yang controversial di tengah-tengah masyarakat dan bahkan di
sana-sini menimbulkan konflik kelembagaan sebagaimana yang ditampilkan oleh
mekanisme kerja yang tidak serasi antar DPR dan pemerintah, demikian juga dalam
perkara Bank kesemuanya ini menyebabkan pemerintahan dan kelembagaan Negara
tidak berjalan dengan efektif dan bahakan cenderung menghasilkan keruntuhan
hidup berbangsa dan bernegara Kesatuan Republik Indonesia.
A. Pengertian Badan Legislatif
Badan
legislatif adalah
struktur politik yang berfungsi mewakili warga negara di dalam proses pembuatan
kebijakan negara. Legislatif itu sendiri berasal dari kata “legislate” yang
berarti lembaga yang bertugas membuat
undang-undang. Anggotanya dianggap sebagai perwakilan rakyat, karena itulah
lembaga legislatif sering dinamakan sebagai badan atau dewan perwakilan rakyat.
Nama lain yang sering dipakai juga adalah parlemen, kongres, ataupun asembli
nasional. Dalam sistem parlemen, legislatif adalah badan tertinggi yang
menunjuk eksekutif.
Sedangkan dalam sistem presiden,
legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas dari eksekutif.
B. Badan Legislatif di Indonesia
Melalui UUD 1945, dapat diketahui bahwa struktur legislatif
yang ada di Indonesia terdiri atas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat RI, DPRD I, DPRD II), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Badan-badan ini memiliki fungsi dan wilayah kewenangan yang berbeda-beda. Sebab
itu, Jimly Asshiddiqie dalam Beddy Irawan Maksudi menyebut
Indonesia setelah amandemen IV UUD 1945, Indonesia merupakan sistem Trikameral
(sistem tiga kamar) dalam lembaga perwakilan rakyat.
Untuk perbandingan, dapat kita lihat dari sistem
ketatanegaraan Amerika Serikat. Di Negara tersebut kekuasaan legislative ada di
tangan kongres. Kongres terdiri atas The House of Representatives dan Senates. Anggota The
House of Representatives terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota Senates terdiri atas
wakil-wakil Negara bagian. Kongres tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai badan tersendiri sebab ia
hanya ada berkat gabungan antara anggota The House of Representatives dan Senates. Sementara di Indonesia,
ada tiga lembaga perwakilan yang diakui konstitusi, yaitu MPR, DPR dan DPD.
1. MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat)
MPR merupakan struktur legislatif yang berkedudukan di
tingkat pusat. Setelah amandemen UUD 1945 ke-4 pada tanggal 10 Agustus 2002, maka MPR RI sebagai kelembagaan
Negara, tidak lagi diberikan sebutan
sebagai lembaga tertinggi Negara dan hanya sebagai lembaga Negara,
seperti juga DPR, Presiden, BPK dan MA. Dalam pasal 1 ayat 2 yang telah
mengalami perubahan perihal kedaulatan disebutkan bahwa “kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar,” sehingga
tampaklah bahwa MPR RI tidak lagi menjadi pelaksana kedaulatan rakyat. Juga
susunan MPR RI telah berubah keanggotaanya, yaitu terdiri atas anggota DPR dan
DPD yang kesemuanya direkrut melalui pemilu.
Jumlah anggota MPR saat ini adalah 678 orang yang terdiri
atas 550 orang anggota DPR dan 128 orang anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR
5 tahun dan bersamaan pada saat anggota DPR dan anggota DPD yang baru
mengucapkan sumpah atau janji. Tugas dan wewenang MPR di atur dalam pasal 3 UUD
1945 yang berbunyi :
1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2) Majelis
Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3) Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Dari pasal di atas dapat di jabarkan lagi bahwa tugas dan wewenang
MPR tersebut meliputi (dalam UU
No. 27 Tahun 2009 pada pasal 4)
:
a. Mengubah dan
menetapkan UUD Negara RI Tahun 1945.
b. Melantik Presiden dan
Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum (pemilu).
c. Memutuskan usul
DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
d. Melantik Wakil
Presiden menjadi Presiden apabila mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya.
e. Memilih Wakil
Presiden dari 2 (dua) calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
f. Memilih Presiden
dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti atau diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan dari
2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya.
Selain tugas dan wewenang tersebut anggota MPR memiliki hak pada pasal 9, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Mengajukan usul
pengubahan pasal UUD 1945.
b. Menetukan sikap dan
pilihan dalam pengambilan keputusan.
c. Memilih dan
dipilih.
d. Membela diri.
e. Hak imunitas.
f. Hak protokoler.
g. Hak keuangan dan
administratif.
h. Bersidang sedikitnya
sekali dalam 5 tahun di ibu kota Negara.
Selain mempunyai
hak, MPR juga memiliki kewajiban yang diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 pada
pasal 10 :
a. memegang teguh
dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan
perundangundangan;
c. mempertahankan
dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. mendahulukan
kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan
e. melaksanakan
peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
2. DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat)
DPR adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenanganmembentuk
undang-undang. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang di pilih melalui pemilihan
umum. Dan dalam membentuk undang-undang tersebut DPR harus melakukan pembahasan
serta persetujuan bersama Presiden.
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPR adalah sebagai
berikut (dilihat dari UUD 1945) :
a. Legislatif (DPR)
mempunyai kewenangan mengusulkan pemberhentian Presiden/Wakil
Presiden kepada MPR, terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi dan seterusnya.
Hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 7B ayat 1 yang
menyatakan“Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. DPR mempunyai kekuasaan membentuk
undang-undang.
Hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat 1 yang
menyatakan“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang”
Dan juga terdapat dalam Pasal 20 ayat 2 yang
menyatakan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”
c. Di dalam DPR
menetapkan rancangan undang-undang, tidak di sahkan oleh Presiden Rancangan
Undang-Undang tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Hal ini termuat dalam UUD 1945 pasal 20 ayat 5 yang menyatakan“Dalam
hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan”
d. Setiap anggota
DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
Hal ini termuat di dalam UUD 1945 Pasal 21 ayat 1 yang menyatakan
bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang”.
Fungsi dari DPR adalah fungsi legislasi, fungsi penganggaran
dan fungsi pengawasan. Hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat 1 yang
menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memilki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan”.
a. Fungsi legislasi
adalah fungsi yang dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
b. Fungsi penganggaran adalah fungsi yang
dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-unang tentang APBN yang
diajukan oleh Presiden.
c. Fungsi pengawasan yaitu fungsi yang dilaksanakan
melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Dalam rangka
fungsi sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945 menentukan pula:
1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkaitdengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian
internasional diatur dengan undang-undang.
Selain itu terdapat pula dalam Pasal 13 ayat 2 dan 3 yaitu :
2) Dalam hal mengangkat
duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Presiden menerima
penempatan duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Selain itu terdapat pula dalam Pasal 14 ayat 2 yang
menyatakan bahwa“Presiden member amnesty dan abolisi dengan memperhatiakan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”
Hak DPR
adalah hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat sebagaimana yang
termuat di dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat 2 yang menyatakan ”Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket dan
hak menyatakan pendapat”.
a. Hak interpelasi
adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebjakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampakluas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Hak angket hak DPR
untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Hak menyatakan
pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
- Kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
- Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket;
- Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Selain hak DPR tersebut anggota DPR pun memiliki hak
selaku perseorangan, hal ini termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat 3 dan 4
yang memuat :
3) Selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas.
4) Ketentuan lebih lanjut
tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dwan Perwakilan Rakyat diatur
dalam undang-undang.
Hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersebut diantaranya
adalah :
- Hak mengajukan rancangan undang-undang adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang.
- Hak mengajukan pertanyaan adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden baik yang disusun secara lisan/tulisan, singkat, jelas dan dismpaikan kepada pimpinan DPR.
- Hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak setiap anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang diicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
- Hak smemilih dan dipilih adalah hak setiap anggota DPR untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelangkapan DPR sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
- Hak membela diri adalah hak setiap anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri dan/atau member keterangan kepada Badan Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya.
- Hak imunitas adlah hak setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukan secara lisan ataupun tertulus dalam rapat-rapat DPR sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan KOde Etik anggota dewan.
- Hak protokoler adalah hak setiapanggota DPR bersama pimpinan DPR sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
- Hak keuangan dan administratif adalah hak setiap anggota DPR untuk beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan dan fasilitas lain yang mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat.
Untuk lebih
lengkapnya mengenai tuga dan wewenang DPR, diatur dalam UU No.27 Tahun 2009
pada pasal 71 sebanyak 20 ayat, hak DPR terdapat pada pasal 78 sebanyak 8 ayat
dan kewajibannya terdapat pada pasal 79 sebanyak 11 ayat.
3. DPD (Dewan
Perwakilan Daerah)
Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga daerah dalam sistemketatanegaraan Republik
Indonesia, dengan maksud untuk memberikan tempat bagi daerah-daerah menempatkan
wakilnya dalam lembaga perwakilan tingkat nasional untuk mengakomodir
dan memperjuangkan kepentingan daerah-daerahnya, sehingga memperkuat
kesatuan nasional.
Kewenangan yang dimiliki oleh DPD termuat di dalam UUD 1945
Pasal 22D yang menyatakan :
1) DPD
dapat mengajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah pembentukan serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dn sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) DPD
ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemerakan dan pembangunan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU anggaran pendapatan dan belanja
negara dan rancangan UU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
3) DPD
dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada PDR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti.
DPD mempunyai
fungsi yang terdapat pada UU No.27 Tahun 2009 pada pasal 223, yaitu:
a. pengajuan
usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut
dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
c. pemberian
pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama; dan
d. pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan
agama.
DPD mempunyai
tugas dan wewenang dalam UU No.27 Tahun 2009 pada pasal 224, yaitu:
a) dapat
mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b) ikut
membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c) ikut
membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf
a;
d) memberikan
pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e) dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f) menyampaikan
hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g) menerima
hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat
pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
APBN;
h) memberikan
pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i) ikut
serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD mempunyai
hak:
1) mengajukan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2) ikut
membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
3) memberikan
pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
4) melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar